Oleh. Syafaat, M.Ag
Belajar dan menghafal al-Quran
selama ini identik dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut dengan
pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren, sementara para pelajar dan
mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum dan
teknologi modern.
Mungkin terbilang langka mahasiswa hafal al-Quran ataupun
dosen hafal al-Quran. Padahal kalau mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan
muslim yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains pada abad pertengahan
Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh orang-orang yang mumpuni di
bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai al-Quran. Ibnu Rusyd, Ibnu
Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit,
rumus-rumus fisika, kimia, astronomi dikuasai, tafsir, hadis, fiqh juga
dipahami secara mendalam.
Apa rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang kuat
bahwa hafal dan faham al-Quran itu merupakan “harga mati” (tidak boleh ditawar)
sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Hal ini tercermin
dalam tulisan Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-Majmu”:
وَيَنْبَغِىْ أَنْ يَبْدَأ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى المَشَايِخِ:
وَفِي الحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ فَالْأهَمُّ:
وَأوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ فَهُوَ أَهَمُّ
العُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يَعْلَمُوْنَ الْحَدِيْثَ وَالفِقْهَ إلاَّ
لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh
seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang
terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan fiqh
kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “Imam Nawawi, Al
Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Dan menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang
menghafal al-Quran ataupun yang telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan dan
kreatifitas lebih dibanding lainnya. Rektor Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, dalam acara
wisuda 2008 pernah menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir peraih
predikat mahasiswa terbaik selalu diraih oleh mahasiswa yang hafal al-Quran.
Hal yang sama juga dibuktikan oleh keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh
putra putrinya yang sedang menghafal al-Quran itu rata-rata menjadi pelajar dan
mahasiswa terbaik di sekolah mereka masing-masing.
Oleh karena itu tidak heran bila ada testimoni yang mengejutkan
dari Dr. Abdul Daim al-Kaheel dari Kuwait. Beliau menulis dalam Artikel yang
berjudul: Asrar al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam situs pribadinya: www.kaheel7.com,
sebagai berikut:
وَيُمْكِنُنِيْ أنْ أُخْبِرَكَ عَزِيْزِيْ القَارِئُ أنَّ الْاِسْتِمَاعَ
إلىَ الْقُرْآنِ بِشَكْلٍ مُسْتَمِرٍّ يُؤَدِّيْ إلىَ زِيَادَةِ قُدْرَةِ
الْإِنْسَانِ عَلَى الْإِبْدَاعِ، وَهَذَا مَا حَدَثَ مَعِيَ، فَقَبْلَ حِفْظِ
الْقُرْآنِ أَذْكُرُ أنَّنِيْ كُنْتُ لاَ أُجِيْدُ كِتَابَةَ جُمْلَةٍ بِشَكْلٍ
صَحِيْحٍ، بَيْنَمَا الآنَ أقُوْمُ بِكِتَابَةِ بَحْثٍ عِلْمِيٍ خِلاَلَ يَوْمٍ
أَوْ يَوْمَيْنِ فَقَطْ
Bisa saya informasikan pada para pembaca yang terhormat bahwa
mendengarkan ayat al-Quran secara kontinyu akan menambah kemampuan berinovasi,
sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Sebelum hafal al-Quran, saya masih
ingat, saya kesulitan menulis satu kalimat dengan baik dan benar, sementara
sekarang saya mampu menulis karya ilmiah hanya dalam kurun waktu satu sampai
dua hari saja.
Untuk itu, kehadiran artikel ini dirasa penting untuk memotivasi
dan mengarahkan mahasiwa yang belum atau sedang menghafalkan al-Quran agar
mereka bergairah untuk menghafal dan harapannya, mereka kelak menjadi generasi
Islam yang unggul dan mumpuni, sebagai “reinkarnasi” dari Al-Ghazali, Ar-Razi,
Ibnu Miskawaih dll. Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para
mahasiswa muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.
Berikut ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis,
praktis, tentang mengapa al-Quran itu penting untuk dihafal oleh mahasiswa.
1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang
berada di masa keemasan
Kalau Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam
kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori usia subur dan
produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait ini
dengan usia ini, Syekh Alwi al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul Iddikar” (matan
kitab An-Nashoih ad-diniyyah) mengatakan:
وَأعْجَزَهُ الْفَخَارُ فَلاَ فَخَارَ
|
إذَا بَلَغَ الْفَتَى عِشْرِيْنَ عَاماً
|
فَلا سُدْتَ ماَ عِشْتَ مِنْ بَعْدِهِنَّهْ
|
إذَا لَمْ تَسُدْ في لَيَالي الشَّبَابْ
|
Ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki
kebanggaan, maka tidak akan muncul kebanggaan lagi
Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau
tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupnya.
Dengan kata lain, ”hari ini” bagi seorang remaja adalah miniatur
kesuksesan di masa yang akan datang. Bila ”hari ini” dalam diri seorang remaja
telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas, kepemimpinan, etos kerja
tinggi, kemungkinan besar 10 tahun atau 15 tahun yang akan datang, sudah
menjadi orang sukses sesuai dengan yang dia kerjakan sekarang.
2. Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran
Mensyukuri anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia
sebagai hamba Allah. Allah memberikan anugerah kepada hambanya sesuai takaran
takdir yang dibarengi dengan ikhtiar maksimal. Oleh karenanya, kadar karunia
yang Allah berikan kepada hambanya berbeda-beda satu sama lain. Allah berfirman
(QS. An-Nahl:71):
وَاللَّهُ
فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain
dalam hal rezki,
Rizki itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan
persaudaraan. Kalau anda hari ini kemampuan membaca ayat-ayat al-Quran dengan
baik, syukuri itu sebagai bagian dari rizki Allah. Tidak banyak orang yang bisa
membaca al-Quran, hanya orang pilihanlah yang diberi kemampuan itu.
Nabi bersabda:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia
memeiliki pemahaman dalam agama
Pengalaman saya (penulis) mengajar matakuliah PAI (pendidikan
Agama Islam) di beberapa kampus di kota Malang, rata-rata 80% dari mereka belum
bisa baca al-Quran padahal usia mereka berkisar 18-20 tahun. Belum lagi
kemampuan baca al-Quran masyarakat umum non mahasiswa, tentu lebih banyak lagi.
Jika kita tergolong orang yang bisa baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan
cara yang lebih produktif. Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran,
meningkatkan pemahaman kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz
(menghafalkan).
Mungkin tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan baca
al-Quran yang dimiliki itu tidak diamalkan secara istiqamah. Sebagaimana pisau,
ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak digunakan untuk keperluan memotong.
Allah memberikan ilmu hakikatnya bukanlah sebagai tujuan (goal) tapi semata
alat (medium) untuk sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah
pengamalan serta pengajaran al-Quran itu sendiri.
3. Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal
al-Quran
Saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi yang
ada di kota Malang. Mereka sekarang sudah jadi orang hebat, dihormati, memiliki
penghasilan tinggi.
Di antara mereka ada yang bercerita pada saya: ”mas, saya
sampai sekarang ini masih mendambakan untuk bisa hafal Al-Quran, tapi pada usia
setua ini apa masih bisa? Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki
Malang, dengan usia di atas 50 tahun, mengatakan: “Saya sekarang
menghafalkan al-Quran, berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai
proses bukan hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa semua ayat
al-Quran sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah ciptakan ini pernah
terisi dengan file-file al-Quran.”
Bukankah otak atau hati yang berisi
al-Quran tidak akan disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي أمامة : إنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ
وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ هَذِهِ الْمَصَاحِفَ الْمُعَلَّقَةَ فَإِنَّ اللهَ لَنْ
يُعَذِّبَ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ (رواه الدارمي)
Bacalah al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan mushaf
yang tergantung ini, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang berisi al-Quran
(HR. Ad-Darimi)
Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas
Negeri Malang, secara implisit bertanya hal yang hampir sama pada saya, yaitu
tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa.
Dua tahun yang
lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah P. Asrukin (pegawai Perpustakaan
UM), di sana bertemu orang “sepuh” dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal
al-Quran sejak usia 55 tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz.
Di
Pesantren Darul Quran Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati
berusia 50-an tahun dari daerah Tanggul kota Jember. Teman saya, seorang ibu
dua anak masih menyempatkan diri setoran hafalan al-Quran seminggu sekali di
Pesantren Nurul Ulum Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi
penghafal al-Quran tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau mungkin
karena kesibukannya tidak sempat menghafal.
Jadi, kalau hari ini Anda
menghafal, berarti Anda telah melakukan sesuatu yang banyak dirindukan orang
lain. Kalau mereka baru bermimpi, Anda sudah melakukannya, berbahagialah!
4. Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca al-Quran
yang sudah ada selama ini seharusnya ditingkatkan, sebagai ungkapan rasa syukur
pada Allah. Demikian juga, bila kita hari ini sudah punya niat untuk menghafal
dan sudah mulai menghafal, maka bersyukurlah, sebab tidak banyak orang yang
mendeklarasikan diri untuk berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai
melakukannya.
Rasa syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit dalam
bentuk upaya maksimal meneruskan hafalan itu hingga paripurna (tuntas). Ibarat
biji tanaman, setelah ditancapkan ke dalam tanah, ia harus kontinyu disiram dan
dipupuk sampai tumbuh dan berkembang subur lalu berbuah.
5. Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal
al-Quran
Belum lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita
brilian yang membaca al-Quran bil ghaib. Dialah Abdurrahman Farih
dari Al-Jazair (yang saat direkam baru berusia tiga tahun). Siapakah orang tua
yang tidak bangga memiliki anak sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang
tua yang anaknya terjaring dalam DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan
kepalang. Hal yang perlu menjadi catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih telah
memulai dan melaksanakan hafalan hingga tuntas.
Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari ini
usia Anda sudah di atas 18 tahun dan belum nawaitu untuk menghafal atau belum
tuntas dalam menghafal, patutlah Farih menjadi ”cambuk”, agar anda merasa malu
dan tergerak untuk memulai. Kapan lagi memulai, jangan pernah menunda sebuah
niat suci. Motivasi tidak ada jaminan datang dua kali. Bisa jadi, niat yang
pelaksanaannya tertunda akan menguap dan sirna selamanya.
Jangan putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses, masih
ada beberapa tahun menuju usia 23 tahun dimana sepanjang itu al-Quran lengkap
diturunkan. Atau mungkin usia Anda sudah di atas 30 tahun, jangan putus asa
untuk menghafal sebab Rasulullah mulai menerima wahyu dan menghafal baru di
usia 40 tahun. Kalau usia anda di usia 55 tahun belum selesai menghafal, jangan
putus ada karena Rasulullah tuntas menerima wahyu di usia 61 tahun.
6. Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela
menderita untuk kita
Setiap kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang yang
ikut bersuka cita menyambut kehadiran sang bayi. Siang malam tercurah kasih
sayangnya. Dialah ayah dan ibu kita. Sang anak tumbuh menjadi besar lalu
menjadi remaja, tak pernah lepas dari belaian kasih sayang orang tua terutama
ibu. Mereka rela menderita demi kebahagiaan sang anak. Keringat dan air mata
menghiasi keikhlasan mereka dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya.
Mahasiswa yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang tidak
banyak tahu tentang penderitaan orang tua di rumah, bagaimana mereka membanting
tulang, berhutang rupiah kesana kemari demi kelangsungan studi putra putrinya
yang berada di perantauan, nun jauh di sana. Si anak sering tidak diberitahu
tentang suka duka orangtua yang di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi
mereka. Namun, si anak mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua
tersebut. Harapannya, dari sana akan muncul empati serta simpati dari anak,
untuk kemudian berupaya untuk memberikan balas budi kepada orang tua kelak di
kemudian hari.
Dengan menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua
supaya mereka bisa bangga dan terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa senang
manakala anaknya berprestasi dan berperilaku baik, tawaddu’, dibanding
semata-mata ”pamer kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan orang tua, ketika
mendengar anaknya hafal al-Quran, kelak pahala baca al-Quran dari anak tak kan
pernah putus dan akan senantiasa menerangi kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا
فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْؤُهُ أَحْسَنُ مِنْ
ضَوْءِ الشَّمْسِ فِى بُيُوتِ الدُّنْيَا (رواه أبو داود)
Barang siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan isinya maka
pada hari kiamat kedua orang tuanya akan diberi mahkota yang cahayanya lebih
indah daripada sinar matahari di dunia.
Bersambung...
Sumber: https://cahayaqurani.wordpress.com
Sumber: https://cahayaqurani.wordpress.com
No comments:
Post a Comment