17. Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar
selesai?
Tiap orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus yang berbeda-beda
dalam menghafal, sehingga tidak jarang para santri itu berhenti di tengah
perjalanan alias belum tuntas 30 juz, kendati banyak juga yang selesai tuntas.
Terkadang ketidaktuntasan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya
lingkungan menghafal yang kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga. Bisa
juga masalah muncul dari lemahnya motivasi internal.
Sejak awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi
kemampuan dirinya. Apakah dia memiliki daya tahan dan fokus yang kuat? Apa dia
juga memiliki motivasi yang tinggi? Proses identifikasi tersebut dilakukan
dengan cara menghafal juz 30 terlebih dahulu. Juz 30 atau yang lebih dikenal
dengan juz ‘amma memiliki karakteristik ayat dan surat yang pendek-pendek.
Tentu dengan karakteristik seperti ini, juz 30 menjadi lebih mudah dihafal
dibanding juz-juz lain dalam al-Quran. Dengan kemudahan tersebut, seorang
santri akan mampu meraba sendiri kemampuan menghafalnya. Kalaupun dia terhenti
di tengah jalan, tidak akan sia-sia.
Sebab, suratnya pendek-pendek dan banyak
berguna untuk menjadi imam shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau
bacaan rutin harian.
Ibarat bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada dinding,
pagar serta atap, ia akan bertahan lama meski tidak dihuni dan tidak terawat.
Demikian juga hafalan. Ketika seseorang menghafal satu surat secara utuh,
biasanya akan awet atau tahan lama, meski lama tidak dibaca. Resikonya
menghafal juz 1 pada tahap awal akan mudah hilang seandainya terhenti di
pertengahan juz.
18. Dengarlah rintihan orang yang ingin
menghafal, namun tidak tercapai
Diakui ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya kaum
muslimin maupun muslimat merupakan naluri. Ia akan muncul dan tenggelam sesuai
lingkungan dan situasi yang melingkupinya. Naluri itu kadang menjelma menjadi
sebuah cita-cita dan harapan, layaknya kekayaan, jabatan dan popularitas.
Cita-cita tersebut akan berubah menjadi menyakitkan manakala tidak tercapai.
Beberapa teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka
menyesali kenapa keinginan tersebut dulu tidak direalisasikan dalam wujud
usaha. Lebih-lebih, mereka yang pernah menghafal dan belum tuntas, atau pernah
hafal namun kini pergi entah ke mana, seumur hidup mereka akan diliputi
rintihan dan penyesalan. Mereka seakan hidup dalam fatamorgana yang tiada henti
dan pengandaian yang tak berujung; seandainya dulu saya begini dan begitu,
niscaya saya akan seperti mereka yang sukses menghafal.
Sebelum kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan
potensi dan maksimalkan ikhtiyar. Tentu perjuangan di awal itu beratnya luar
biasa. Penyesalan selalu berada di akhir cerita dan tak akan pernah muncul di
awalnya. Demikian pula, indahnya kesuksesan itu hanya bisa dinikmati di akhir
masa penantian panjang. Kata pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke
tepian, bersusah-susah dahulu lalu bersenang-senang kemudian.
19. Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata
“ternyata” dan “tiba-tiba”
Waktu ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan
indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa
diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun, ternyata waktu yang kita miliki
begitu singkat dan sesak dengan berbagai kesibukan harian yang teknis.
Fatamorgana di atas akan meninabobokkan setiap orang, terlebih jika ingin
melakukan kegiatan besar yang positif. Itulah ujian tiap orang yang ingin
sukses.
Saat menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai dalam
melangkah. Alasan mereka, nanti saja kalau perkuliahan agak sedikit longgar,
tugas kuliah terselesaikan semua, atau nanti saja kalau liburan panjang datang,
akan menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin akan “bertapa” demi
menyelesaikan hafalan. Sikap “taswif” (menunda-nunda) ini merupakan penyakit
menular yang sangat ganas, serta penyebab utama dari setiap kegagalan
menghafal.
Harus disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih
terbentang luas, sebenarnya hanyalah waktu bayangan bukan waktu yang
sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu besok saya tidak ada kegiatan mulai pagi
sampai malam sehingga jadwal menghafal hari Sabtu ini ditunda dulu lantaran
agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus penundaan di atas.
Manusia oleh Allah
tidak diberi kemampuan untuk mengetahui takdir di esok hari. Kita semestinya
tidak mengandalkan waktu yang belum muncul di hari ini. Ada banyak kemungkinan
yang akan terjadi di esok hari, diantaranya:
a. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang
butuh pertolongan kita
b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh kita
meriang/sakit
c. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik
dari keluarga yang membuat kita susah
d. Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik
e. Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau
mencuci baju
f. Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat
bagus
g. Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang
h. Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau
menjawab email
i. Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman
j. Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang
butuh penanganan segera
k. Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi
l. Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia
m. Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak
n. Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk
ingin tidur
Dan masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita
untuk melakukan kegiatan di hari itu. Masihkah kita suka menunda?
20. Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan
agar jadi mimpi indah
Hampir setiap orang memiliki ”mimpi” dan cita-cita untuk menjadi
sesuatu atau memiliki sesuatu. Namun, kondisi fisik, psikologis, sosial
kerapkali menenggelamkan mimpi itu. Sebetulnya orang yang memiliki ”mimpi
sukses” itu tergolong orang yang hebat, sebab tidak semua orang punya mimpi.
Mimpi itu termasuk ingin hafal al-Quran. Anugerah Allah yang berupa ”mimpi
untuk hafal al-Quran” jangan pernah disia-siakan. Lakukan penguatan ”mimpi”
tersebut agar menjadi motivasi kuat dengan banyak membaca kisah-kisah para
pengahafal al-Quran serta hikmah-hikmah menghafal.
Dengan demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa menggerakkan
anggota tubuh untuk meralisasikannya menjadi kenyataan. Disini diperlukan
metode dan strategi, supaya mimpi itu tidak dibelokkan menjadi angan-angan
hampa belaka. Yakinlah setelah mimpi itu terwujud, tentu hari-hari kita begitu
indah bersama al-Quran bagaikan mimpi yang membuai angan dan memanjakan
khayalan.
21. Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah
keluarga “Qur’ani”
Kita tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak Mutammimul
Ula yang kesepuluh anaknya hafal al-Quran, atau ingin meniru Abdurrahman Farih
dan Husein Thababai yang mana di usia balita mereka sudah hafal al-Quran. Kita
juga ingin rumah selalu bergaung suara al-Quran dari mulut anak-anak.
Hanya saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami, istri,
bapak, ibu). Bagaimana mungkin anak-anak akan mengikuti jejak orangtuanya,
sementara orangtua tak memberi contoh pada mereka. Orangtua yang hafal al-Quran
akan dengan mudah mengenalkan dan membiasakan hafalan pada putra-putrinya di
manapun mereka berada. Mungkin setiap berangkat sekolah, anak dituntun untuk
menghafal surat-surat pendek.
Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja,
anak akan hafal lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua
belum mulai menghafal sejak sekarang. Memang, orangtua yang punya hafalan itu
mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata untuk diri sendiri, tetapi
juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.
(Materi disampaikan dalam acara “Ta’aruf Qurani” yang
diselenggarakan oleh Hai’ah Tahfidz al-Quran Universitas Islam Negeri Maulana
Malik ibrahim (UIN Maliki) Malang, tanggal 30 Oktober 2011, di Aula rektorat
lt. 3).
Sumber: https://cahayaqurani.wordpress.com
No comments:
Post a Comment